Notification

×

Iklan

Iklan

Episentrum Keabadian: Ketika Nama-Nya Menjelma Sunyi di Arus Kesadaran

Sabtu, 25 Oktober 2025 | Oktober 25, 2025 WIB | Last Updated 2025-10-25T23:35:51Z
Oleh: Faiz Abrori, SH, MH

Inilah epilog hakiki dari pencarian: bukan pada gemuruh yang jauh, melainkan pada getaran yang menyentuh palung sunyi batin. Ketika aksara suci itu terucap, kita sesungguhnya bukan sedang mengulurkan tangan ke cakrawala yang berjarak, pun bukan sekadar menegaskan dogma yang membeku. Kita tengah mengaktifkan kembali 'Memori Asal', sebuah kesadaran primordial tentang Sumber Hidup yang mengalir dalam simfoni senyap setiap detak jantung.

Nama-Nya adalah Frekuensi Ilahi yang tak terindra oleh mata, namun terresonansi sempurna oleh qalb (hati) yang telah dibasuh kejernihan. Zikir adalah momen ketika bibir dan jiwa menyatu, melebur dalam Dialog Kosmis dengan Keabadian itu sendiri asal muasal yang telah lama bersemayam sebagai inti terdalam eksistensi. Di titik nol kesadaran ini, manusia bertransformasi: bukan lagi pengelana yang gigih mencari Tuhan di luar batas dirinya, melainkan menjadi Mihrab (tempat sujud) itu sendiri, sebuah ruang hening tempat Realitas Ilahi berkenan menampakkan cahayanya dalam rupa kesadaran murni.

Perhatikanlah Metafora Dedaunan yang gugur, sebuah kepasrahan agung yang melambat menuju bumi. Dalam setiap kejatuhan yang tanpa keluh, dalam setiap denyut kasih yang menumbuhkan tunas harapan baru, bahkan dalam setiap daya tahan untuk melangkah di tengah gravitasi kesulitan dunia sesungguhnya ada Getar Nama-Nya yang bekerja secara sublim. Ia adalah esensi yang hadir dalam wujud paling halus: dalam sapaan angin yang membelai, dalam serpihan nur pagi yang menyentuh jendela jiwa, dan dalam tatapan mata yang memancarkan Cinta Tanpa Syarat sebuah manifestasi keilahian yang paling autentik.

Kerap kita menempuh perjalanan spiritual yang jauh, mendaki puncak keyakinan yang menjulang, atau berdiam di kuil-kuil suci yang megah. Padahal, Arasy (Singgasana) Keabadian tak pernah meninggalkan ruang paling sederhana: Hati Nurani kita. Ia bertakhta di sana, sebuah ruang yang kerap terisolasi oleh hiruk pikuk ambisi, jerat ketakutan, dan ilusi kegelisahan yang kita rajut sendiri. Hanya ketika kita berani Berhenti, melipat layar pikiran, dan merendahkan ego, barulah tersibak tabir: bahwa setiap tarikan dan hembusan napas adalah Panggilan Tak Bertepi dari-Nya; bahwa hidup itu sendiri adalah Puisi Doa yang tak pernah usai.

Tuhan tidak selalu diwujudkan dalam epik guntur atau kilauan yang membutakan. Sering kali, Ia bersemayam di dalam Kealpaan yang Lembut, dalam Keheningan Absolut, dalam langkah-langkah sunyi yang tak menuntut nama. Di kedalaman senyap yang tak terukir kata, manusia menemukan sebuah kebenaran filosofis: bahwa Tuhan bukanlah entitas yang harus dicari dengan susah payah, melainkan Realitas yang Wajib Disadari. Dan saat kesadaran itu mekar, setiap irisan waktu kehidupan menjelma menjadi Persembahan Paling Tulus.

Maka, menyebut nama-Nya bukan sekadar rutinitas liturgi, melainkan manuver jiwa untuk mengingat Alamat Pulang yang sejati. Di setiap seruan itu, ada resonansi yang menuntun kembali ke Ekuilibrium Batin, kepada Makna hakiki, kepada kesadaran bahwa esensi hidup bukan tentang mengakumulasi kepemilikan, melainkan tentang Mengalami Kehadiran-Nya di setiap partikel semesta.

Sama seperti daun yang melepaskan diri dari ranting tanpa ratap, karena ia mengetahui takdir kembalinya pada tanah manusia pun, dalam setiap kepasrahan dan doa, sedang menapaki jalan Kembali kepada Asal. Nama-Nya adalah Cahaya Navigator, Air Kehidupan, dan Napas Abadi yang terus membisikkan satu pelajaran fundamental: di tengah arus kefanaan semesta, hanya Cinta Ilahi yang kekal tak tergerus waktu.