![]() |
Foto : //// Kusnandar, S. Sos, SH, MH, Ph.D |
Jakarta – Pers One
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan publik. Regulasi ini dinilai sebagai langkah krusial untuk memperbaiki tata kelola hukum sekaligus memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Praktisi Hukum sekaligus konsultan, Kusnandar, S.Sos., SH., MH., Ph.D., menegaskan bahwa pengesahan RUU ini bukan sekadar instrumen penghukuman bagi pelaku kejahatan, melainkan sebuah upaya fundamental untuk mengembalikan hak-hak rakyat yang selama ini dirampas.
“RUU ini jangan hanya dipandang sebagai instrumen penghukuman. Yang lebih penting adalah menjadikannya sarana untuk mengembalikan hak rakyat. Uang negara yang dikorupsi pada dasarnya adalah uang rakyat, maka harus kembali ke rakyat,” tegas Kusnandar.
Korupsi telah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Namun, pemulihan aset sering terhambat oleh celah hukum, sehingga banyak aset hasil kejahatan tidak tersentuh. Padahal, jika aset tersebut berhasil dikembalikan, nilainya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
“Kita sering dengar vonis sudah dijatuhkan, tapi asetnya tidak tersentuh. Padahal kalau aset itu dikembalikan, bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur,” ujar Kusnandar.
Sejumlah kasus besar menunjukkan betapa sulitnya mengembalikan aset negara yang di korupsi. Sebagai contoh adalah:
Kasus BLBI menimbulkan kerugian hingga Rp100 triliun lebih, namun pemulihan asetnya masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Skandal Jiwasraya menyebabkan kerugian sekitar Rp16,8 triliun, sedangkan kasus Asabri mencapai Rp22,7 triliun. Tidak semua aset berhasil dikembalikan.
Di sektor energi, dugaan korupsi LNG Pertamina ditaksir merugikan negara Rp2,1 triliun.
Sementara itu, kasus tata niaga timah di PT Timah Tbk (2015–2022) jauh lebih mencengangkan, dengan potensi kerugian negara lebih dari Rp271 - 300 triliun.
Angka-angka tersebut menggambarkan betapa besar kekayaan negara yang raib akibat praktik korupsi dan lemahnya sistem pemulihan aset.
Kusnandar menekankan bahwa aset sitaan tidak boleh hanya berhenti pada tahap penyitaan. Diperlukan tata kelola profesional, transparan, dan berorientasi pada kemanfaatan publik.
“Di banyak negara maju, aset hasil kejahatan bisa dimanfaatkan untuk membiayai pendidikan, layanan kesehatan, atau pembangunan fasilitas umum. Indonesia harus menempuh jalur yang sama,” ujarnya.
Menurut Kusnandar, keberhasilan RUU ini tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada pengawasan publik. Keterlibatan masyarakat sipil, media, dan lembaga independen penting untuk memastikan aset hasil sitaan benar-benar dikelola secara transparan dan tidak kembali disalahgunakan.
“Jika aset yang sudah disita tidak diawasi, risikonya bisa muncul penyimpangan baru. Karena itu, kontrol sosial dari publik sangat penting agar perjuangan hukum ini tidak berakhir sia-sia,” jelasnya.
RUU Perampasan Aset dipandang sebagai momentum bersejarah untuk memperkuat komitmen negara dalam memberantas korupsi. Publik berharap regulasi ini segera disahkan, sehingga mampu menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan para koruptor.
Lebih dari sekadar penegakan hukum, regulasi ini juga menjadi wujud nyata untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada negara. Dengan adanya undang-undang tersebut, setiap rupiah yang dirampas dapat kembali kepada rakyat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bersama.
Ada sejumlah dasar yang memperkuat urgensi undang-undang ini, di antaranya:
Memutus Mata Rantai Kejahatan
Pelaku tidak lagi bisa menikmati hasil kejahatan meski sudah dipenjara. Aset yang dirampas akan memutus “mata rantai” kejahatan dan menimbulkan efek jera.
Mengembalikan Kerugian Negara
Proses pemulihan aset akan lebih cepat, efisien, dan efektif sehingga dana hasil sitaan bisa kembali ke kas negara untuk kepentingan masyarakat.
Kepatuhan terhadap Konvensi Internasional
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) sejak 2006. Dengan undang-undang ini, Indonesia menunjukkan komitmennya dalam memenuhi standar global pemberantasan korupsi.
Penguatan Aparat Penegak Hukum
RUU ini akan memberikan kewenangan yang lebih jelas kepada KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk menyita aset, termasuk yang disembunyikan di luar negeri atau melalui pihak ketiga.
Meski mendesak, RUU ini juga menimbulkan perdebatan, terutama terkait mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan (non-conviction based asset forfeiture). Mekanisme ini memungkinkan negara menyita aset yang diduga berasal dari kejahatan meski pelakunya belum diputus bersalah.
Tantangannya adalah menjaga agar mekanisme ini tidak melanggar prinsip praduga tak bersalah maupun hak asasi manusia. Oleh karena itu, aturan harus dirancang dengan cermat, dengan prosedur ketat, transparan, serta pengawasan yang kuat agar tidak disalahgunakan.
Saat ini, Indonesia berada pada titik penting dalam upaya memperkuat sistem hukum dan memberantas korupsi. Kehadiran Undang-Undang Perampasan Aset diharapkan menjadi tonggak baru, bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk mengembalikan hak rakyat, memperkuat kepercayaan publik, serta membangun masa depan Indonesia yang lebih adil dan transparan.