Notification

×

Iklan

Iklan

Eksekusi Kendaraan: Kapan Debt Collector Boleh Bertindak?

Kamis, 21 Agustus 2025 | Agustus 21, 2025 WIB | Last Updated 2025-08-21T15:56:17Z



Jakarta - Pers One 


 Oleh: Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D


 Praktik penarikan kendaraan oleh debt collector masih menjadi isu hangat di berbagai daerah. Seringkali, tindakan ini dilakukan hanya karena keterlambatan pembayaran cicilan satu atau dua bulan, yang menimbulkan pertanyaan tentang legalitasnya. Masyarakat sebagai debitur seringkali menjadi korban, menghadapi intimidasi hingga kekerasan. Lantas, bagaimana hukum memandang penarikan kendaraan secara paksa di jalan?


 Isu ini semakin relevan pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia, seperti mobil atau motor, tidak dapat dilakukan sepihak. Kreditur hanya dapat melakukan eksekusi langsung jika debitur secara sukarela mengakui wanprestasi dan tidak keberatan dengan eksekusi tersebut. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, kreditur wajib mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan negeri.


 Tidak ada dasar hukum yang menyatakan bahwa keterlambatan cicilan otomatis menjadi wanprestasi berat. Penilaian wanprestasi harus mempertimbangkan konteks dan itikad baik debitur. Misalnya, jika debitur telah berupaya menjelaskan kesulitan keuangan dan meminta penjadwalan ulang pembayaran, perusahaan pembiayaan seharusnya mengedepankan musyawarah.


 Di lapangan, penarikan kendaraan sering dilakukan oleh debt collector yang tidak memiliki surat kuasa resmi atau identitas hukum yang jelas, bahkan bertindak di luar kewenangan. Tindakan ini sering disertai kekerasan atau ancaman, yang dapat dikategorikan sebagai perampasan, pengancaman, atau perbuatan tidak menyenangkan. Lebih lanjut, penarikan sering dilakukan tanpa surat resmi, proses hukum, atau pendampingan aparat penegak hukum, yang jelas melanggar prinsip negara hukum.


 Sesuai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 11 ayat (1) dan (2), setiap objek jaminan fidusia wajib didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sertifikat fidusia yang terdaftar memberikan kekuatan eksekutorial kepada perusahaan pembiayaan. Namun, banyak perusahaan pembiayaan tidak mendaftarkan fidusia, sehingga tidak memiliki dasar hukum untuk mengeksekusi kendaraan secara sepihak.


 Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 mengembalikan mekanisme eksekusi jaminan fidusia ke jalur yang benar, yaitu melalui proses hukum yang adil dan transparan. Penarikan kendaraan di jalan hanya karena tunggakan tidak dapat dibenarkan jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang dan tanpa memenuhi syarat hukum. Semua pihak harus memahami bahwa eksekusi fidusia bukan hanya soal administrasi kontrak, tetapi juga penghormatan terhadap hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.


 Putusan MK ini membawa perubahan signifikan terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Fidusia dinilai bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai secara ketat. Kekuatan eksekutorial hanya berlaku jika debitur secara sukarela menyerahkan objek fidusia atau telah ada kesepakatan mengenai wanprestasi.


 MK menegaskan bahwa penentuan wanprestasi tidak boleh dilakukan sepihak oleh kreditur, melainkan harus berdasarkan kesepakatan atau melalui mekanisme hukum. Eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia wajib mengikuti mekanisme eksekusi putusan pengadilan jika ada keberatan dari debitur.


 Reduksi kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia bertujuan memberikan perlindungan hukum yang lebih adil bagi kreditur dan debitur. Perlindungan kepastian hukum dalam pemberian kredit tetap dijaga, tetapi pelaksanaannya harus sejalan dengan prinsip keadilan dan tidak mengabaikan hak debitur.

 

Putusan ini menjadi acuan baru bagi praktik perjanjian fidusia, memperkuat keseimbangan posisi hukum antara kreditur dan debitur. Para ahli hukum menilai bahwa putusan ini mengubah konsep jaminan kebendaan di Indonesia dengan menekankan perlunya prosedur hukum yang lebih transparan dan adil, sejalan dengan asas kepastian hukum.

 

Dengan adanya putusan ini, hukum fidusia di Indonesia mengalami pergeseran penting, memberikan ruang yang lebih kuat bagi debitur untuk memperoleh keadilan dalam proses eksekusi objek jaminan.



 

Published : Agung/Basori