Jakarta - Pers One
Oleh: Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D
Di tengah pusaran kehidupan yang tak pernah berhenti, manusia kerap terjebak dalam dikotomi sempit: mengejar kebahagiaan layaknya memburu fatamorgana di padang pasir, dan menjauhi penderitaan seperti lari dari mata pelajaran yang tak disukai. Kita diajarkan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesedihan, seolah-olah hidup hanyalah permainan dengan dua pilihan ekstrem.
Padahal, bukankah kehidupan sejatinya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari nada cerah sekaligus gelap? Bukankah kanvas pengalaman manusia justru menjadi indah karena adanya kontras antara tawa dan air mata? Tugas kita di dunia ini mungkin lebih dalam daripada sekadar memilih sisi terang atau gelap. Esensi hidup justru terletak pada keberanian untuk mengalami keduanya menari di antara suka dan duka agar lahir makna yang sejati.
Penderitaan sebagai Jalan Menuju Makna
Secara filosofis, penderitaan telah lama dipandang sebagai elemen penting dalam pembentukan makna hidup. Viktor Frankl (2006), psikiater yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menegaskan bahwa makna bisa ditemukan bahkan dalam penderitaan paling ekstrem. “Penderitaan berhenti menjadi penderitaan pada saat ia menemukan makna,” tulisnya.
Pengalaman pahit dapat menjadi katalisator pertumbuhan pribadi, melatih ketahanan, serta membuka pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia.
Fungsi Adaptif Emosi Negatif
Dari perspektif psikologi positif, emosi negatif seperti kesedihan atau ketakutan tidak semata-mata destruktif. Fredrickson (2001) menyebut bahwa emosi negatif memiliki fungsi adaptif—mendorong refleksi, mempersempit fokus perhatian, serta memicu respons spesifik yang lebih tepat dalam menghadapi tantangan. Tanpa kemampuan merasakan penderitaan, manusia akan kehilangan kapasitas empati, moralitas, dan pemahaman mendalam terhadap sesama.
Kebahagiaan yang Tercipta dari Kontras
Kebahagiaan sering kali lebih terasa setelah melewati kesulitan. Rasa sakit memberi perspektif baru tentang apa yang benar-benar berharga. Solomon (1993) menjelaskan bahwa kontras emosional meningkatkan intensitas pengalaman, memungkinkan manusia menghargai kebahagiaan dengan lebih mendalam setelah menghadapi penderitaan.
Dengan demikian, penderitaan dan kebahagiaan bukanlah sekadar peristiwa biasa, melainkan cara Tuhan mengekspresikan seluruh potensi-Nya melalui pengalaman manusia.
Merangkul Spektrum Kehidupan
Hidup tidaklah lurus menuju kebahagiaan tanpa henti, melainkan berliku melewati lembah kesedihan dan puncak sukacita. Setiap air mata yang jatuh dan setiap tawa yang membahana adalah benang yang merajut permadani eksistensi kita.
Maka, tugas hidup bukanlah menghindari penderitaan, melainkan membuka diri pada spektrum penuh pengalaman manusia. Dengan merangkul keduanya, kita bukan hanya bertahan, tetapi benar-benar hidup menemukan makna terdalam dari setiap episode perjalanan.
Seperti pepatah bijak, tugas kita bukanlah menghindari badai, melainkan belajar menari di tengah hujan. Sebab, justru di sanalah makna kehidupan bersemi. Dan ketika makna sejati terpahami, pertumbuhan serta pembebasan jiwa pun tercapai.
Editor : Sulton