Jakarta - Pers One
Oleh : Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D
Praktik pengangkatan anak atau adopsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Namun, kedudukan hukum anak angkat dalam memperoleh hak waris dari orang tua angkat kerap memicu perdebatan dan sengketa yang tak kunjung usai. Bagaimana sebenarnya hukum mengatur hak anak angkat, dan apa implikasinya dalam masyarakat?
Dahulu, proses adopsi di Indonesia terbilang sederhana, cukup dengan kesepakatan antara orang tua kandung dan orang tua angkat. Namun, seiring perkembangan zaman, proses adopsi kini mengharuskan adanya penetapan pengadilan. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak angkat dan memastikan proses adopsi berjalan sesuai hukum yang berlaku.
"Adopsi adalah solusi bagi pasangan yang belum dikaruniai anak, namun harus dilakukan sesuai prosedur yang benar agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," ujar Kusnandar , seorang pakar hukum keluarga dan bisnis.
Kedudukan hukum anak angkat di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya:
- Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Mengamanatkan bahwa pengangkatan anak harus dilakukan demi kepentingan terbaik anak dan sesuai dengan adat serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak: Menyatakan bahwa pengangkatan anak adalah perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua kandung ke orang tua angkat berdasarkan keputusan pengadilan. Namun, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandung.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI): Mendefinisikan anak angkat sebagai anak yang tanggung jawab hidupnya beralih dari orang tua asal ke orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan (Pasal 171 huruf h).
Namun, yang menjadi perdebatan adalah terkait hak waris anak angkat. Dalam hukum kewarisan, anak angkat tidak termasuk ahli waris karena tidak memiliki hubungan biologis dengan orang tua angkat, kecuali jika anak tersebut diambil dari keluarga orang tua angkat. Meski demikian, KHI memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan wasiat wajibah, yaitu sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat (Pasal 209).
Sengketa waris antara anak angkat dan ahli waris lainnya kerap terjadi di pengadilan. Salah satu contoh kasus yang mencuat adalah ketika seorang pewaris tanpa anak kandung dan orang tua telah meninggal dunia, meninggalkan seorang anak angkat dan beberapa saudara kandung. Saudara kandung kemudian menggugat anak angkat atas warisan tersebut, dengan alasan anak angkat tidak berhak mewaris karena bukan ahli waris.
Dalam kasus ini, pengadilan dapat memerintahkan pemeriksaan DNA untuk memastikan hubungan biologis antara anak angkat dan pewaris. Jika terbukti tidak ada hubungan biologis, maka anak angkat hanya berhak atas wasiat wajibah.
Sayangnya, praktik pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum masih sering terjadi. Salah satunya adalah dengan menghilangkan nasab anak angkat dari orang tua kandungnya dalam akta kelahiran, dan menggantinya dengan nama orang tua angkat. Praktik ini jelas bertentangan dengan hukum dan agama, serta dapat menimbulkan masalah di kemudian hari.
Dalam Islam, adopsi diperbolehkan, namun dengan batasan yang jelas. Islam tidak membenarkan pengangkatan anak dengan menghilangkan nasab dari orang tua kandung. Anak angkat tidak berhak memakai nasab orang tua angkat dan mewarisi harta seperti anak kandung.
Untuk meminimalisir sengketa waris anak angkat, diperlukan sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai prosedur adopsi yang benar dan hak-hak anak angkat. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan ketentuan juga sangat diperlukan.
"Masyarakat perlu diedukasi mengenai hukum adopsi dan hak waris anak angkat agar tidak ada lagi pihak yang dirugikan," tegas Kusnandar
Dengan pemahaman yang benar dan penegakan hukum yang tegas, diharapkan polemik hak waris anak angkat dapat diminimalisir, sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi anak-anak yang diadopsi.
Published: Akbar/Yustaf