![]() |
Foto// Dok. Kusnandar, S. Sos, SH, MH, Ph. D |
Jakarta - Pers One
Oleh : Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D
Pernikahan siri masih menjadi fenomena yang sering menimbulkan polemik di masyarakat. Persoalan semakin kompleks apabila pernikahan siri dilakukan oleh seorang suami tanpa sepengetahuan atau persetujuan istri pertama. Selain berdampak pada keretakan rumah tangga, perbuatan ini juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum, baik perdata maupun pidana.
Poligami di Indonesia bukanlah hal yang sepenuhnya dilarang, namun dibatasi secara ketat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang suami yang ingin berpoligami wajib:
1. Memperoleh persetujuan dari istri pertama.
2. Mengajukan izin ke Pengadilan Agama.
3. Membuktikan adanya alasan yang sah, misalnya istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka perkawinan kedua dianggap cacat hukum. Artinya, secara yuridis perkawinan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.
Secara agama, pernikahan siri bisa dipandang sah apabila memenuhi syarat rukun nikah menurut Islam (ijab kabul, wali, dua saksi, dan mahar). Namun, dalam perspektif hukum positif di Indonesia, nikah siri tidak memiliki kekuatan hukum.
Hal ini karena pernikahan yang sah menurut Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan yang dicatatkan pada instansi resmi, yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi non-Islam.
Akibatnya, istri siri dan anak yang lahir dari pernikahan siri tidak memiliki status hukum yang jelas. Mereka akan kesulitan dalam hal pencatatan kelahiran, warisan, maupun hak-hak keperdataan lainnya.
Selain berimplikasi pada status hukum perkawinan, pernikahan siri tanpa izin istri pertama juga berpotensi menjerat suami ke ranah pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:
1. Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal mengetahui bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan pihak lain menjadi penghalang yang sah, juga diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika perbuatan tersebut dilakukan dengan cara menyembunyikan status perkawinan sebelumnya kepada pihak lain, maka ancaman pidana dapat diperberat menjadi tujuh tahun penjara.
Dari ketentuan ini, jelas bahwa pernikahan siri diam-diam bisa masuk kategori tindak pidana apabila terbukti dilakukan dengan sengaja, tanpa izin istri pertama, dan tanpa melalui prosedur hukum yang berlaku.
Langkah Hukum Bagi Istri Pertama
Apabila seorang istri mengetahui suaminya menikah siri tanpa persetujuan dirinya, terdapat beberapa langkah hukum yang dapat ditempuh, yaitu:
1. Melaporkan ke aparat penegak hukum atas dugaan pelanggaran Pasal 279 KUHP.
2. Mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama dengan alasan suami berpoligami tanpa izin.
3. Menuntut hak-hak keperdataan, seperti hak nafkah, hak asuh anak, maupun pembagian harta bersama (gono-gini).
Pernikahan siri yang dilakukan seorang suami tanpa sepengetahuan dan persetujuan istri pertama bukan hanya melanggar etika rumah tangga, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Selain batal demi hukum menurut Undang-Undang Perkawinan, tindakan tersebut juga dapat dijerat pidana sesuai Pasal 279 KUHP.
Istri yang dirugikan memiliki hak penuh untuk menempuh jalur hukum, baik melalui laporan pidana maupun gugatan perceraian, guna mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum.