Notification

×

Iklan

Iklan

Fenomena Ojek Online: Antara Kemudahan Transportasi dan Perlindungan Hukum Mitra Driver

Kamis, 28 Agustus 2025 | Agustus 28, 2025 WIB | Last Updated 2025-08-29T13:14:39Z


Foto : /// Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D 

 

Oleh : Kusnandar, S.Sos, SH, MH, Ph.D 

Jakarta - Pers One


Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan besar dalam dinamika kehidupan masyarakat. Segala aktivitas kini dituntut berlangsung lebih cepat, efektif, dan instan. Era yang kerap disebut sebagai “zaman disrupsi” ini telah menggeser banyak pola hidup, termasuk dalam sektor transportasi.



Jika dahulu masyarakat mengandalkan bus kota atau ojek konvensional untuk menunjang aktivitas sehari-hari, kini layanan transportasi online hadir sebagai solusi yang lebih praktis. Melalui aplikasi digital, masyarakat dengan mudah memesan ojek online hanya dengan beberapa sentuhan jari. Kehadiran inovasi ini bukan hanya dianggap sebagai kemajuan teknologi, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi ribuan orang, khususnya di kota-kota besar.


Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul pertanyaan penting terkait status hukum para pengemudi ojek online. Apakah mereka berposisi sebagai pekerja atau sekadar mitra? Pertanyaan ini penting, sebab masing-masing status memiliki konsekuensi hukum dan bentuk perlindungan yang berbeda.


Untuk menjadi mitra driver, syarat yang ditetapkan oleh perusahaan aplikasi relatif sederhana: memiliki SIM C, kendaraan pribadi, serta melengkapi formulir pendaftaran pada aplikasi. Meski demikian, proses perekrutan ini menghadirkan persoalan kontraktual. Para calon driver tidak memiliki ruang untuk melakukan negosiasi atas klausul-klausul perjanjian. Mereka hanya bisa menerima syarat yang ditentukan perusahaan atau memilih tidak bergabung sama sekali.


Fenomena ini dikenal sebagai kontrak baku atau klausula eksonerasi, yang dalam praktiknya dinilai melanggar prinsip kebebasan berkontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa para pihak memiliki kehendak bebas untuk menentukan isi perjanjian, yang kedudukannya berlaku layaknya undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berangkat dari Pasal 1313 KUHPerdata yang mendefinisikan perjanjian sebagai perikatan antara satu orang atau lebih.


Jika ditinjau dari sudut pandang hubungan kerja, seharusnya terdapat tiga unsur utama: adanya perintah, adanya pekerjaan, dan adanya upah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang). Namun dalam hubungan antara driver dan perusahaan aplikasi, unsur “upah” tidak diatur secara eksplisit di awal. Penghasilan driver diperoleh dari hasil layanan yang dijalankan melalui aplikasi, bukan dalam bentuk upah tetap dari perusahaan.


Di sisi lain, aspek transportasi online juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus, yang menegaskan bahwa layanan transportasi berbasis aplikasi wajib memenuhi standar operasional tertentu untuk melindungi konsumen maupun mitra pengemudi.


Kendati secara hukum hubungan kemitraan telah ditetapkan, prinsip keadilan seharusnya tetap menjadi pijakan. Perusahaan aplikasi transportasi online sebaiknya tidak menerapkan klausula baku yang merugikan mitra driver. Praktik demikian berpotensi menekan hak-hak para driver, apalagi di tengah kondisi sulit dengan tingginya angka pengangguran.


Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan pentingnya perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah dalam perjanjian, terutama ketika berhadapan dengan klausula sepihak. Pandangan ini semakin menegaskan bahwa hukum tidak boleh hanya berpihak pada pemilik modal.


Dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja dan regulasi turunannya, perlu pengkajian lebih mendalam agar perlindungan hukum bagi mitra driver tetap terjamin. Jangan sampai hubungan kemitraan hanya menjadi dalih untuk melemahkan posisi driver di hadapan pemilik modal.


Fenomena ojek online sejatinya merupakan potret dari dinamika hukum di era digital. Jika dikelola dengan adil, kemitraan antara perusahaan aplikasi dan driver dapat menjadi contoh kemajuan hukum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi sekaligus tetap melindungi hak-hak masyarakat.


Published : Sulton/Agung